Kamis, 05 Januari 2017

nasionalisme dan patriotisme


BAB II
Pembahasan
A.    Pengertian Nasionalisme
Secara etimologi : Nasionalisme berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna : kesadaran dan semangat cinta tanah air; memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa; memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara; persatuan dan kesatuan.
Menurut Ensiklopedi Indonesia : Nasionalisme adalah sikap politik dan sosial dari sekelompok bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan dengan meletakkan kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsanya.
Nasionalisme dalam arti sempit : paham kebangsaan yang berlebihan dengan memandang bangsa sendiri lebih tinggi (unggul) dari bangsa lain. Paham ini sering disebut dengan istilah “Chauvinisme”. Chauvinisme pernah dianut di Italia (masa Bennito Mussolini); Jepang (masa Tenno Haika) dan Jerman (masa Adolf Hitler).
Nasionalisme dalam arti luas : paham kebangsaan yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan tanah airnnya dengan memandang bangsanya itu merupakan bagian dari bangsa lain di dunia. Nasionalisme arti luas mengandung prinsip-prinsip : kebersamaan; persatuan dan kesatuan; dan demokrasi (demokratis).
Nasionalisme dapat juga diartikan sebagai paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Bertolak dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu yang harus diberikankepada negara dan bangsanya, dengan maksud bahwa individu sebagai warga negara memiliki suatu sikap atau perbuatan untuk mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi kemajuan, kehormatan dan tegaknya kedaulatan negara dan bangsa.




B.      Bentuk-Bentuk Nasionalisme
  • Nasionalisme kewarganegaraan adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh partisipasi aktif dari kebenaran politik dari rakyatnya, “kehendak rakyat”; “representasi politik”. Teori ini awalnya dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan subjek penulisan.
  • Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya atau asal etnis orang. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder.
  • Nasionalisme identitas adalah identitas yang kuat dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik semulajadi (“organik”) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantis tergantung pada manifestasi budaya etnis yang mempertahankan idealisme romantis; kisah tradisi yang telah dirancang dengan konsep nasionalisme romantik.
  • Nasionalisme Budaya adalah jenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama-sama daripada “keturunan alami” seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh: Yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok.
  • Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kebangsaan nasionalisme, selalu dikombinasikan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalis yang kuat bahwa mengingat keutamaan menangani hak dan kebebasan yang lebih universal.
  • Nasionalisme agama adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Namun demikian, nasionalisme etnik biasanya dicampur dengan nasionalisme keagamaan. Contoh: Di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.
Ø  Ada tiga hal yang harus kita lakukan untuk membina nasionalisme Indonesia
a. Mengembangkan persamaan diantara suku-suku bangsa penghuni nusantara
b. Mengembangka sikap toleransi
c. Memiliki rasa senasib dan sepenanggungan diantara sesama bangsa Indonesia

Ø  Empat hal yang harus kita hidari ndalam memupuk sermangat nasionalisme adalah :
a. sukuisme, menganggap msuku bangsa sendiri paling baik
b. Chauvinisme, mengganggap bangsa sendiriu paling unggul
c. Ektrimisme, sikap mempertahankan pendirian dengan berbagai cara kalau perlu dengan kekerasan dan senjata
d. Provinsialisme, sikap selalu berkutat dengan provinsi atau daerah sendiri




C.     Pengertian Patriotisme

Patriotisme berasal dari kata : “Patriot” dan “isme” (bahasa Indonesia)’ yang berarti sifat kepahlawanan atau jiwa kepahlawanan. “Patriotism” (bahasa Inggris), yang berarti sikap gagah berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara.
Patriotisme adalah sikap yang bersumber dari perasaan cinta tanah air (semangat kebangsaan atau nasionalisme), sehingga menimbulkan kerelaan berkorban untuk bangsa dan negaranya.
Sikap patriotisme bangsa indonesia telah dimulai saejak jaman penjajahan, dengan banyaknya pahlawan pahlawan yang gugur dalam rangkan mengusir penjajah seperti Sultan Hasanudin dari Makasar, Pangeran Diponogoro dari Jawa tengah, Cut Nyadie, Tengku Umar dari Aceh dll. Sikap patriotis mjemuncang setelah proklamasi kemerdekaan pada priode perjuangan phisik antara tahun 1945 sampai 1949 yaitu pride mempertahankan negara dari keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Sikap patriotisma adalah sikap sudi berkorban segala-galanya termasuk nyawa sekalipun untuk mempertahankan dan kejayaan negara.

Ø  ciri-ciri patriotisme adalah :
a. cinta tanah air
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangfsa dan negara.
c. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan
d. Berjiwa pembaharu
e. Tidak kenal menyerah dan putus asa

D.    Bentuk Patriotisme :
1. Patriotisme Buta (Blind Patriotism) : keterikatan kepada bangsa dan negara tanpa mengenal toleran terhadap kritik, seperti dalam ungkapan : “right or wrong is my country” (benar atau salah, apapun yang dilakukan bangsa harus didukung sepenuhnya).
2. Patriotisme Konstruktif (Constructive Patriotisme) : keterikatan kepada bangsa dan negara dengan tetap menjunjung tinggi toleran terhadap kritik, sehingga dapat membawa perubahan positif bagi kesejahteraan bersama.







E.     Membangun Sikap Nasionalisme dan Patriotisme Di Era Global

Pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Baru, pembahasan mengenai nasionalisme masih menggunakan konteks sejarah Perang Dunia II. Dengan konteks tersebut pembahasan nasionalisme dan patriotisme bukanlah suatu yang njlimet karena masih menggunakan perspektif yang sederhana.
Kini, ketika globalisasi dan berkembangnya teknologi informasi telah mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara (baik secara politik, ekonomi, maupun sosial), masalah nasionalisme dan patriotisme tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana yang dapat dilihat dari satu perspektif saja. Dalam dunia yang oleh sebagian orang disifatkan sebagai dunia yang semakin borderless, banyak pengamat yang mulai mempertanyakan kembali pengertian negara beserta aspek-aspeknya.
Contoh nyata yang menarik dapat diambil dari kasus berikut: sekitar awal 1999 terjadi unjuk rasa kecil yang dilakukan sekelompok ormas terhadap LSM yang konsen pada masalah HAM. Para pengunjuk rasa menuding para aktifis LSM tersebut tidak memiliki jiwa nasionalisme karena dinilai telah menjadi agen kepentingan asing di Indonesia. Para pengunjuk rasa melihat bahwa sebagian besar atau seluruh aktifitas LSM-LSM tersebut mendapat dukungan dari lembaga donor asing. Sebagai konsekuensinya, LSM-LSM tersebut harus menjalankan agenda yang menjadi “titipan” lembaga asing tersebut. Akibatnya, beberapa persoalan dalam negeri Indonesia kemudian menjadi sorotan internasional. Mereka membeberkan beberapa kasus yang mereka nilai sebagai pelanggaran HAM berat. Citra Indonesia pun menjadi tercemar di pergaulan internasional. Bahkan, lepasnya Timor Timur dari NKRI merupakan andil dari LSM-LSM tersebut.
Dalam unjuk rasa tersebut, salah seorang pimpinan LSM meminta beberapa orang perwakilan pengunjuk rasa untuk masuk ke ruangan untuk diajak berdialog. Selepas berdialog, sang pemimpin LSM didampingi perwakilan pengunjuk rasa kemudian berorasi di depan para pengunjuk rasa. Dengan berapi-api, sang pimpinan LSM menyampaikan bahwa dia dan teman-teman juga memiliki rasa nasionalisme. Namun pengertian nasionalisme yang mereka pahami tidaklah sama dengan yang disampaikan pengunjuk rasa. Kiprah mereka selama ini di LSM justru merupakan perwujudan nasionalisme mereka. Mereka ingin agar Indonesia setaraf dengan negara lain, terutama dalam masalah penghormatan terhadap HAM. Setelah mendengarkan orasi tersebut, para pengunjuk rasa terlihat masygul dan mereka pun pulang tanpa dapat berkata-kata lagi.
Kejadian tersebut merupakan bukti betapa persoalan nasionalisme dan patriotisme telah memiliki logika yang tidak lagi sederhana sebagaimana dipahami di masa-masa sebelumnya. Jika menggunakan perspektif lama, tudingan rendahnya nasionalisme yang diarahkan terhadap para aktifis LSM tersebut sebenarnya cukup masuk akal dan didasari fakta. Namun ketika dilihat dalam perspektif globalisasi, logika tersebut gampang sekali dipatahkan.
Persoalan nasionalisme dan patriotisme di era global sebenarnya bukan hanya masalah yang dialami oleh Indonesia. Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya dengan kekuatan politik, ekonomi, budaya, dan hankam yang tak tertandingi pun harus berdaya upaya sekeras-kerasnya dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan warganya. Demikian pula dengan negara-negara lain. Bahkan Malaysia, misalnya, beberapa waktu belakangan ini tengah ramai diskusi dan program tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme di negara tersebut.
Jika kita menuliskan kata-kata: “patriotisme” atau “semangat kebangsaan” di program pencarian situs internet (seperti: Google), maka hampir sebagian besar dipenuhi situs-situs dari negeri jiran tersebut. Situs-situs dari Malaysia ini tidak hanya berasal dari kementerian dalam negeri atau departemen pertahanan di sana, tetapi juga dari departemen pendidikan, organisasi politik, lembaga kajian, dan swasta. Sedangkan situs dari Indonesia hanya sedikit, rata-rata berasal dari situs TNI, Dephan, atau Bappenas. Itupun sebagian merupakan arsip dari GBHN atau Repelita di masa Orde Baru.
Memperhatikan kenyataan di atas dimana masalah pembangunan nasionalisme dan patriotisme saat ini tengah menghadapi tantangan yang berat, maka perlu dimulai upaya-upaya untuk kembali mengangkat tema tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme. Apalagi di sisi lain, pembahasan atau diskusi tentang nasionalisme dan patriotisme di Indonesia justru kurang berkembang (atau mungkin memang kurang dikembangkan).
Ø  Beberapa Pandangan tentang Nasionalisme dan Patriotisme
Nasionalisme adalah masalah yang fundamental bagi sebuah negara, terlebih-lebih jika negara tersebut memiliki karakter primordial yang sangat pluralistik. Klaim telah dicapainya bhinneka tunggal ika, apalagi lewat politik homogenisasi, sebetulnya tidak pernah betul-betul menjadi realitas historis, melainkan sebuah agenda nation-building yang sarat beban harapan. Oleh sebab itu, ia kerap terasa hambar.
Dengan penafsiran tersendiri, ini merupakan bentuk imagined society seperti istilah Benedict Anderson. Benedict Anderson (1999) menggunakan istilah imajinasi untuk menggambarkan kemiripan makna tentang fantasi. Penjelasannya lebih condong menggunakan analisis sejarah politik untuk menjelaskan kaitan antara imajinasi kolektif yang mengikat suatu komunitas. Orang disatukan sebagai suatu negara karena persamaan identitas darah, ideologi, dan kepentingan. Kalau mau jujur, gagasan Indonesia sebagai negara adalah produk kolonialisme. Kesatuan teritori dagang di bawah Belanda, Inggris, kemudian diambil alih Jepang dan diwariskan ke pemerintahan bersama warga lokal yang bernama Indonesia.
Indonesia adalah laboratorium sosial yang sangat kaya karena pluralitasnya, baik dari aspek ras dan etnis, bahasa, agama dan lainnya. Itu pun ditambah  status geografis sebagai negara maritim yang terdiri dari setidaknya 13.000 pulau. Bahwa pluralitas di satu pihak adalah aset bangsa jika dikelola secara tepat, di pihak lain ia juga membawa bibit ancaman disintegrasi. Karakter pluralistik itu hanya suatu pressing factor dalam realitas ikatan negara.
Negara itu sendiri pada hakikatnya merupakan social contract, seperti istilah Rousseau, yang secara intrinsik selalu memiliki tantangan disintegrasi. Yang menjadi soal, seberapa besar  derajat ancaman itu dan sebarapa baik manajemen penyelesaiannya. Ada faktor contagion, bahwa langkah yang satu dapat ditiru yang lain, akan memperkuat tekanan itu terlebih-lebih bila masing-masing mengalami pengalaman traumatik yang mirip.
Konsepsi pembentukan Indonesia sendiri memang lebih relevan, seperti istilah David Beetham, sebagai sebuah produk historis, bukan a fact of nature. Ini selaras dengan asumsi bahwa “semua wilayah nusantara bekas jajahan Belanda adalah wilayah Indonesia”. Dengan demikian masalah legalitas wilayah terpecahkan secara lebih mudah dan diterima oleh rakyatnya maupun komunitas internasional. Lewat landasan yang sama, maka rasional untuk memisahkan diri bagi bagian-bagian wilayah yang termasuk bekas jajahan Belanda itu tidak kuat.
Perlu dicatat bahwa cita-cita kolektif melalui pembentukan suatu negara antara lain merupakan itikad mulia untuk bekerja sama senasib sepenanggungan melalui kerangka nasionalisme dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat. Nasionalisme itu sendiri sebetulnya adalah pendefenisian identitas kebangsaan dengan siapa kita ingin bekerja bersama dalam mencapai bonum publicum, apakah karena ikatan etnis, agama, wilayah/teritorial atau lainnya atau kombinasi sebagian atau seluruhnya. Seperti kata Ernst Gellner, ada rasional pembangunan sebagai alasan eksistensi negara.
Soekarno dianggap paling mewakili semangat patriotisme dan nasionalisme generasi muda Indonesia di masanya. Baginya, martabat dan identitas diri sebagai bangsa merdeka sangat penting. Proklamator Kemerdekaan Indonesia lainnya, Bung Hatta pernah mengutip pandangan Prof. Kranenburg dalam Het Nederlandsch Staatsrech, “Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena persamaan nasib, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa bersama. Pendeknya, oleh karena ingat kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam dalam hati dan otak”.
Dalam perspektif yang kurang lebih sama, Jenderal Ryamizard Ryacudu yang saat menjabat sebagai KSAD sangat getol memompakan semangat patriotik kepada berbagai kalangan menyatakan bahwa rasa kebangsaan merupakan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tumbuh secara alamiah karena adanya kesamaan budaya, sejarah dan aspirasi perjuangan yang membuahkan semangat untuk maju bersama. Dari semangat kebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Dalam perspektif seperti itu, menurut Ryamizard,  kita akan mampu meneriakkan kata-kata: ‘Merdeka atau Mati’ dengan penuh penghayatan yang sebenarnya.
Di sini, kepentingan terhadap nasionalisme dipupuk dengan sikap patriotisme yang tinggi. Nasionalisme tidak harus hidup dalam bayang-bayang—memakai bahasa Benedict Anderson, imagined community—tetapi harus dilaburi dengan sikap jujur dan berani mengambil risiko. Seluruh kelompok intelektual muda Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan ambil peran dalam partai-partai dan organisasi-organisasi pergerakan.
Perspektif yang sedikit berbeda tentang nasionalisme dan patriotisme dikemukakan oleh pakar ilmu sosial Dr. Gandung Ismanto. Dia menyampaikan bahwa semangat kebangsaan atau nasionalisme merupakan hal yang terus berkembang seiring dengan tantangan dan kemajuan zaman. Semangat kebangsaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi yang sedang terjadi pada masanya. Di situlah rasa kebangsaan menampakkan relativismenya karena dia digelorakan oleh manusia yang juga relatif. Jadi, menurut Gandung, kita akan gagal dan kecewa bila berharap semangat dan rasa nasionalisme para pelaku sejarah Proklamasi tahun 1945 harus sama persis dengan semangat nasionalisme generasi sekarang.
Meskipun demikian Gandung melihat ada benang merah dari semangat kebangsaan antargenerasi yang hidup di sepanjang zaman yakni pada intinya semangat kebangsaan merupakan upaya kolektif untuk memerdekakan diri, suatu upaya pencarian identitas baru agar bisa maju bersama menuju kehidupan ideal yang dicita-citakan. Kehendak bebas untuk menentukan identitas diri merupakan hak yang tidak dapat dicabut dari diri seseorang maupun dari suatu bangsa oleh pihak mana pun.

F.      Contoh Nasionalisme dan Patriotisme
a.       Contoh Nasionalisme:
·         Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa
·         Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
·         Membangun rasa persaudaraan, solidaritas, kedamaian, dan antikekerasan antarkelompok masyarakat dengan semangat persatuan.
·          Menjaga dan melindungi negara dari segala bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri
·          Mematuhi dan mentaati peraturan negara.
·          Berinisiatif mengadakan perubahan demi kemajuan bangsa dan negara.
·          Memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
·         Menyaring masuknya budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
·         Menanamkan rasa cinta tanah air sejak usia dini.
·         Mendukung tim-tim dari Indonesia pada saat berkompetisi di kancah Internasional.
·         Mengakui dan menghargai keanekaragaman pada diri bangsa Indonesia
·         Bangga menjadi bangsa Indonesia.
·         Ikut berpastisipasi dalam suatu kegiatan yang berguna untuk memajukan bangsa dan negara
·         Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
·          Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
b.      Contoh Patriotisme
·         Mengibarkan bendera merah putih di dekat atau depan rumah ketika hari besar nasional dengan baik dan benar.
·         Membaca buku dengan tema perjuangan.
·         Membantu pekerjaan orang tua.
·         Seorang kakak yang memberi teladan dalam hal kegiatan keagamaan
·         Menjaga nama baik keluarga dalam sikap dan perbuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar